20 Oktober 2015

Manfaat Pelimpahan Jasa Dalam Buddhis


Menghormat mereka yang patut dihormat, itulah Berkah Utama(Manggala Sutta)


Di dalam tradisi kita sebagai umat Buddha, memperingati upacara kematian atau memperingati saat-saat kematian orang yang kita sayangi, saat-saat wafat orang yang kita cintai sesungguhnya telah dimulai sejak jaman Sang Buddha. 

Tentu saja bukan hanya dengan mengirim makanan, mengirim pakaian kepada orang tua atau almarhum. Ada beberapa hal yang memang diajarkan oleh Sang Buddha dalam upacara peringatan kematian seperti hari ini. Ada dua cerita yang berkembang dalam masyarakat Buddhis. 


Cerita yang pertama telah sering kita dengar yaitu cerita seorang murid Sang Buddha yang paling sakti, yang paling hebat, bernama Bhante Moggalana. Dalam bahasa Mandarin, cerita ini dikenal sebagai Mu Lien Ciu Mu (Y.M. Moggalana menolong ibunya). Cerita inilah yang paling dikenal masyarakat luas. Padahal cerita itu tidak terdapat dalam Tripitaka. Menurut cerita ini, pada waktu sedang bermeditasi, Bhante Moggalana mempergunakan kemampuan batinnya untuk melihat alam-alam lain selain alam manusia. Memang bagi kita yang sudah biasa melatih meditasi, sebetulnya melihat alam lain bukanlah sesuatu hal yang luar biasa. Melihat alam surga, melihat alam neraka bukanlah sesuatu yang sulit. Surga 26 tingkat pun bisa dilihat satu demi satu. Tidak ada masalah. Pada waktu itu Bhante Moggalana melihat surga, tempat para dewa dan dewi yang lebih dikenal orang dengan istilah 'malaikat'. Selain itu, beliau juga melihat ke alam-alam menderita, alam setan, setan raksasa yang kita sebut Asura, setan kelaparan atau alam peta dan juga alam neraka. Bhante Moggalana dengan prihatin melihat alam-alam menderita yang sangat menyedihkan ini. 


Di salah satu alam setan kelaparan, Bhante Moggalana melihat ibunya terlahir di situ. Di sana, terlihat ibunya dalam keadaan kurus kering dan telanjang bulat. Bhante Moggalana merasa sangat kasihan sekali kepada ibunya. Beliau berusaha menolong ibunya. Beliau mencoba memberikan makanan dan minuman kepada ibunya. Namun, segala pemberian beliau bukannya menolong ibunya; pemberiannya justru menambah penderitaan ibunya. Karena kebingungan atas kegagalannya menolong sang ibu, Bhante Moggalana menghadap Sang Buddha.

Bhante Moggalana bertanya kepada Sang Buddha tentang sebab musabab kegagalan usaha pertolongannya kepada ibunya. Sang Buddha menjelaskan bahwa bila akan menolong makhluk di alam menderita hendaknya orang melakukannya dengan cara pelimpahan jasa.

Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas nama orang yang telah meninggal yang akan ditolong. Oleh karena itu, Bhante Moggalana kemudian disarankan oleh Sang Buddha untuk memberikan persembahan jubah dan makanan kepada pada bhikkhu Sangha atas nama ibunya. Nasehat Sang Buddha ini diikuti oleh Bhante Moggalana. Beberapa waktu kemudian Bhante Moggalana mengundang para bhikkhu, mempersembahkan dana makan, mempersembahkan jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya. Setelah melaksanakan upacara pelimpahan jasa, Bhante Moggalana bermeditasi lagi.

Dengan mata batinnya beliau mencari ibunya di alam peta. Ketika bertemu, keadaan ibunya jauh berbeda. Ibunya kini kelihatan segar, sehat, awet muda, pakaiannya bagus, rapi dan bersih. Melihat hal itu, Bhante Moggalana berbahagia. Berdasarkan cerita itulah orang mengenal upacara pelimpahan jasa. Upacara pelimpahan jasa iini juga sering dihubungkan dengan tradisi mendoakan para makhluk menderita yang dilaksanakan setiap tanggal 15 di bulan 7 menurut penanggalan Imlek. Itulah cerita tradisi.

Bila cerita di atas adalah merupakan cerita yang berkembang dalam tradisi masyarakat tertentu, maka ada cerita lain yang memang terdapat dalam kitab suci Tri Pitaka. Kitab Suci Tri Pitaka memberikan cerita dengan versi lain tentang upacara pelimpahan jasa.

Cerita ini berhubungan dengan raja Bimbisara. Raja Bimbisara suatu ketika mengundang Sang Buddha dan seluruh bhikkhu ke istana. Raja dalam kesempatan itu mempersembahkan dana makan serta jubah. Setelah berdana, raja merasakan kebahagiaan. Para bhikkhu pun lalu pulang ke vihara bersama dengan Sang Buddha. Raja Bimbisara sangat berbahagia pada hati itu, karena dia punya kesempatan mengundang Sang Buddha ke istana. Akan tetapi pada malam harinya raja memperoleh banyak gangguan dari para makhluk tak tampak. Ia banyak mendengar jeritan dan tangisan dari makhluk tak tampak. 
Raja akhirnya tidak dapat tidur semalaman.

Pada pagi keesokan harinya raja Bimbisara segera pergi ke vihara, bertemu dengan Sang Buddha. Sang raja bertanya kepada Sang Buddha tentang gangguan yang dialaminya, padahal ia baru saja melakukan perbuatan baik. Sang Buddha menerangkan bahwa para makhluk yang mengganggu itu sebenarnya adalah sanak keluarga raja sendiri dari banyak kehidupan yang lalu. Namun, karena mereka telah melakukan kesalahan, mereka kemudian terlahir di alam menderita, alam setan kelaparan. Oleh karena itu, Sang Buddha kemudian menyarankan kepada raja agar ia sekali lagi mengundang para bhikkhu ke istana. Bila para bhikkhu telah sampai di istana, raja hendaknya mempersembahkan dana makanan dan jubah atas nama para makhluk menderita yang pernah menjadi saudaranya itu. Keesokan harinya, raja Bimbisara mengundang para bhikkhu dan Sang Buddha untuk menerima persembahan dana makan dan jubah. Kemudian jasa kebaikannya dilimpahkan kepada mereka. Para makhluk menderita itu merasakan pula kebahagiaan yang luar biasa. Kebahagiaan inilah yang menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan terlahir kembali di alam bahagia.

Dalam kesempatan itulah Sang Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Sang Buddha bersabda bahwa di dinding-dinding, di gerbang-gerbang, di persimpangan-persimpangan jalan banyak keluarga kita yang terlahir di alam menderita menunggu kebaikan hati kita. Mereka menanti pelimpahan jasa kita dengan penuh kesedihan. Ketika sanak keluarganya berpesta pora dan menikmati kebahagiaan, tidak ada satu pun di antara mereka yang diingat. Padahal di sana tidak ada perdagangan, tidak ada warung dan restoran. Lalu bagaimana caranya kita menolong mereka? Kita bisa menolong mereka dengan melakukan kebaikan, dan melimpahkan jasanya kepada mereka.

Dalam masyarakat, pelimpahan jasa kadang-kadang dihubungkan dengan tradisi melakukan upacara tertentu pada bulan tujuh menurut penanggalan Imlek. Padahal menurut agama Buddha sebetulnya pelimpahan jasa tidak harus menunggu bulan tujuh. Sebab, belum tentu pada bulan tujuh nanti kita masih tetap hidup! Kalau kita juga ikut meninggal, justru malahan kitalah yang menerima pelimpahan jasa!

Sebetulnya pelimpahan jasa bisa dilaksanakan setiap saat, bahkan setiap malam pun kita bisa merenung. 'Semoga dengan semua kebaikan yang telah saya lakukan sampai malam hari ini, almarhum papa dan mama memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.' Kenapa dipilih 'bulan tujuh', ini tentu ada sebabnya.

Dasar pemilihan ini dari kebiasaan Tiongkok. Bulan tujuh adalah bulan pergantian musim. Kita pun dapat melihat di Indonesia kalau pada Bulan Tujuh udara sangatlah dingin, bulan menggigil! Oleh karena itu, dalam bulan ini cukup banyak orang yang sakit. Karena banyaknya orang sakit maka para orang tua jaman dahulu menganggapnya sebagai banyaknya gangguan setan. Setan yang mengganggu berasal dari neraka yang, katanya, sedang 'dibuka'.

Oleh sebab itu, para leluhur kita dahulu kemudian melakukan upacara tertentu agar tidak memperoleh bencana karena gangguan para setan tadi. Itulah, secara singkat, awal munculnya tradisi upacara di bulan tujuh tanggal lima belas. Secara Agama Buddha, sekali lagi, pelimpahan jasa dapat dilakukan setiap saat, tanpa harus menunggu bulan-bulan tertentu.

Apakah pelimpahan jasa itu masih bermanfaat bila dilakukan di jaman sekarang ini? Masih! Ada kisah nyata. Ada seorang samanera yang ibunya meninggal dunia. Karena dia Buddhis, dia mengerti bagaimana caranya berbuat baik. Dia mengundang seorang bhikkhu dengan satu samanera yang lain lagi untuk membacakan Paritta. Setelah selesai dia mempersembahkan dana.

Di sini ada baiknya disebutkan jumlahnya karena jumlahnya ini berhubungan dengan cerita ini. Mereka masing-masing mendapatkan selembar amplop yang berisi Rp. 5000,00. Beberapa hari kemudian samanera yang mengadakan pelimpahan jasa itu menceritakan bahwa ibunya telah mendatanginya lewat mimpi. Dalam mimpi, ibunya mengatakan kini ia telah mempunyai uang. Ibunya, dalam mimpi, menunjukkan uang dua lembar @ Rp. 5000,00!

Ada cerita yang lain lagi. Ada seorang ibu yang sudah lama menjadi janda. Suatu malam suaminya datang dalam mimpi dan meminta selembar baju. Setelah bangun, sang istri kemudian pergi ke pasar untuk membeli kain yang seukuran suaminya, juga yang warna dan motifnya yang disenangi suaminya. Si istri kemudian meletakkan semuanya itu di meja penghormatan yang ada foto almarhum di atasnya. Dia kemudian membaca Paritta.

Selesai ber-Paritta dia mengatakan: 'Niat saya hari ini mau berdana, atas nama suami saya, semoga dengan kekuatan kebaikan ini suami saya memperoleh kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya saat ini.' Sesudah selesai, kainnya ini tidak dibakar, tetapi didanakan kepada salah seorang pengurus Vihara atas nama almarhum suaminya.

Seminggu kemudian ibu ini mimpi lagi suaminya datang. Suaminya puas dengan pemberian bajunya, hanya saja ia mengeluh kalau ukuran bajunya tidak sesuai, kekecilan. Ibu ini terbangun, kemudian merenungkan arti mimpinya. Dia teringat bahwa ketika membeli kain ukurannya sama dengan ukuran suaminya, padahal orang yang menerima dana badannya lebih besar daripada suaminya. Pantas kekecilan! Keesokan harinya, istri yang setia ini pergi ke pasar lagi untuk membeli kain kekurangannya, dan dia berikan kepada penjaga vihara itu. Penjaga vihara itu justru heran atas pengertian si ibu. Ia baru saja akan menghubungi si ibu karena kainnya memang kurang ukurannya.

Dari cerita ini jelas kelihatan bahwa sebetulnya pelimpahan jasa secara Buddhis itu dapat diterima oleh para makhluk yang kita kirimi. Hanya saja, syaratnya makhluk itu harus terlahir di alam Paradatupajivika Peta. Kalau dia tidak terlahir di alam itu, kalau dia terlahir di salah satu dari 26 alam surga, atau terlahir di alam neraka, maka makhluk ini tidak bisa menerima pelimpahan jasa kita. Kalau demikian, apakah manfaat bagi kita membacakan Paritta untuk makhluk yang tidak terlahir di alam peta tersebut?

Apabila orang yang meninggal itu tidak terlahir di alam Peta tersebut, minimal selama kita membacakan Paritta seperti hari ini, selama itu pula pikiran, ucapan serta perbuatan kita dipupuk untuk sesuatu yang baik, mendoakan agar almarhum berbahagia. Kenal atau pun tidak kenal kepadanya kita tetap mendoakan semoga almarhum berbahagia. Maka selama setengah jam itu, pikiran, ucapan dan perbuatan kita telah melaksanakan kebaikan.

Bayangkan kalau pagi setengah jam, malam setengah jam lagi, berarti hari ini kita punya satu jam yang berisi pikiran, ucapan, dan perbuatan kita baik. Kalau tiap pagi dan malam kita bisa membaca Paritta setengah jam, maka dalam satu bulan kita dapat mengumpulkan sekitar 30 jam untuk berpikir dan berbuat yang baik. Luar biasa, begitu besar kesempatan melakukan perbuatan baik. Hanya dengan membaca Paritta saja! Cobalah bila kita duduk selama satu jam. Pikiran dengan mudah mengembara kemana-mana. Kadang timbul pikiran baik, tetapi tidak jarang muncul pikiran jahat.

Tetapi dengan diisi kegiatan membaca Paritta, maka pikiran, ucapan serta perbuatan kita otomatis terisi pula dengan kebaikan. Satu jam setiap hari, 30 jam satu bulannya kita berkesempatan mengembangkan kebaikan hanya dengan membaca Paritta. Oleh karena itu, seringlah membaca Paritta, apalagi pada upacara-upacara semacam ini. Bagus. Dalam upacara ini, selain kita telah melaksanakan kebaikan dengan membaca Paritta, kita juga dapat melimpahkan jasa kebaikan itu kepada almarhum. Bukankah kita dengan mambaca Paritta berarti tealh berbuat baik? Datang dari tempat yang jauh khusus untuk membacakan Paritta. 


Kita pun juga bisa melimpahkan jasa itu kepada sanak-keluarga kita sendiri yang sudah meninggal. Sanak keluarga kita yang terdiri dari kakek-nenek, orang tua maupun para leluhur dan kerabat kita lainnya. Mereka juga perlu kita berikan pelimpahan jasa agar mereka berbahagia. Jadi, pelimpahan jasa dapat dilaksanakan oleh siapa pun dan kapan pun juga. Karena pelimpahan jasa ini akan membawa manfaat baik bagi yang meninggal maupun kita yang hidup.


sekian post dari saya, eh iya saya dapat artikel ini dari all about budhis

Arti Sifat dari tiap Karakter Sun Go Kong


Go To The West / Kisah Sun Go Kong



Sebuah karangan yang menceritakan perjalanan Biksu Tong Sam Chong yang pergi menuju barat ( Arah dari Cina Menuju ke India) untuk mengambil kitab suci. Cerita ini pun tidak lepas dari ke empat murid nya yaitu Sun Go Kong, Chu Pat Kai , Mu Cing , dan Kuda putih.


Nah berikut saya akan Share apa makna dari sifat karakter tiap tokoh utama tersebut. Tanpa panjang lebar ayo kita simak saja.

Biksu Tong Sam Chong Melambangkan  Kesadaran
Sun Go Kong Melambangkan  Pikiran
Chu Pat Kai Melambangkan Perasaan
Mu Cing Melambangkan Pencerapan
Kuda Putih Melambangkan Tubuh



Nah kok bingung, ni saya definisikan
Kesadaran, Mengapa di sebut kesadaran? karena Biksu Tong lah yang mampu mengendalikan / mengontrol para murid nya yaitu Pikiran Perasaan Pencerapan dan Tubuh.

Pikiran, Melambangkan Sun Go Kong karena pikiran ini tidak lah bisa diam (sama seperti sifat Sun) yang selalu ingin mencari informasi, lincah dalam memecahkan masalah dan lain sebagainya.

Perasaan, Melambangkan Chu Pat Kai karena Pat Kai digambarkan sebagai tokoh yang Maunya dipuaskan, selalu emosi, pemalas, maunya enak sendiri.

Pencerapan, apa artinya? artinya adalah Tokoh Mu Cing digambarkan sebagai tokoh yang bodoh, tapi dia selalu mencari ilmu/ menangkap semua ilmu yang diberikan gurunya dan menaatinya.

Tubuh, ini dilambangkan kuda putih karena kuda putih lah yang selalu membawa Tong Sam Chong di punggungnya serta membawa barang barang bawaan di sepanjang jalan mereka, sama seperti tubuh manusia yang membawa Kesadaran, Pikiran, Perasaan, dan Pencerapan.

Nah bagaimana Sekilas Makna dari arti sifat karakter Sun Go Kong, itu hanya sebuah pemikiran saja. Makna ini saya share dari web Filsafah Sun Go Kong

Semoga bermanfaat bagi teman semua, salam Metta :)

13 Oktober 2015

Kisah Jataka Buddhis/Buddha (Terperangkap karena madu)


Kisah Jataka Buddhis/Buddha

Hai teman sedharma sekalian, kali ini saya kembali lagi dengan membawakan kisah jataka agama buddha ni...

Teman sekalian pastinya tidak asing lagi dengan tokoh jataka yang akan saya bawakan.. yap.. betul masih dengan ceritanya rusa...

Menceritakan bagaimana si rusa yang dapat terjebak dengan madu yang diberikan oleh petani (loh kok bisa?) Dari pada penasaran ayo kita baca ceritanya teman




Terperangkap Karena Madu

Vatamiga Jataka


Raja Brahadatta memerintah di Benares. Ia mempunyai seorang tukang kebun ang bernama Sanjaya. Pada suatu hari Sanjaya melihat munculnya seekor rusa antilop di taman istana. Binatang itu lari secepat angin lenyap dari pandangannya dan Sanjaya membiarkannya. Ia tidak mengganggu antilop yang agaknya ketakutan itu. Beberapa kali terjadi demikian, rusa antilop mulai biasa berkeluyuran ditaman. Sedangkan tukang kebun itu mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, mengumpulkan bunga dan buah lalu mempersembahkan kepada raja.

Pada suatu ketika raja bertanya kepadanya,
Raja : "Tidakkah kau perhatikan sesuatu yang bukan biasanya didalam taman, hei tukang kebun?"
Sanjaya : "Ya, tuanku. Hanya seekor kijang yang telah datang ke sana."
Raja : "Dapatkah engkau menangkapnya? Bagaimana pikirmu?"
Sanjaya : "Oh ya, jika hamba mempunyai madu sedikit, hamba akan mengantarkannya ke istana paduka."

Raja itu memerintah pegawai istana uuntuk memberi madu kepada tukang kebunnya. Dengan membawa madu tukang kebun pun pergi ke taman. Disana dia menumpahkan madu diatas rumput sekitar tempat yang sering di lewati rusa antilop. Lalu ia menyembunyikan diri, Ketika rusa itu tiba dan mencicipi rumput yang berlumur madu, ia terpancing oleh rasa lezat yang membangkitkan napsunya yang tidak pernah ditemunya di segala tempat kecuali di taman istana itu.

Melihat pancingannya berhasil, tukang kebun mulai menampakka diri secara berangsur. Semula ini terjadi pada beberapa hari pertama, tetapi selanjutnya menjadi tidak asing lagi. Bahkan berangsur antilop itu tidak menaruh perasaan curiga dan berani memakan rumput dari tangan tukang kebun. Tahulah ia bahwa binatang itu sudah mempercayainnya. Maka dibuatnnya serpihan ranting pohon dan ditaburkan bagai karpet melapis jalan ke istana.

Kemudian ia menggantung seguci madu pada pundaknya dan mengikatkan rumput secukupnya pada kain pinggangnya. Dijatuhkannya sedikit rumput bermadu di hadapan antilop yang mengikutinya tanpa sadar sampai akhirnya masuk ke dalam istana. Stelah antilop tiba di dalam, orang-rang pun secepatnya menutup pintu istana.

Mereka menyaksikan binatang itu ketakutan dan panik berlari mondar mandir dalam ruangan istana. Raja bangkit dari singgasananya dan mengamati hewan yang ketakutan itu.

"Sedemikian takut kijang ini sebenarnya;
sampai seminggu barangkali ia tidak akan mengunjungi lagi suatu tempat yang dilihatnya ada manusia;
 dan jika sekali saja dikejutkan dimana pun ia tidak akan kembali ke situ seumur hidupnya. Tetapi terjerat oleh napsunya mengecap suatu yang lezat, makhluk liat ini dari tempatnya di hutan kini muncul di tempat seperti ini.
Betullah saudara-saudara, tiada suatu yang lebih buruk di dunia daripada napsu menikmati tersebut."

Dan raja yang juga Bodhisatva (calon Buddha) mengulangi pernyataannya :

"Tiadalah yang lebih buruk, kata orang, selain kenikmatan yang membelenggu.
Dirumah ataupun di luar bersama teman-teman.
Lihat, napsu menikmati telah membuat menjangan hutan yang liar digiring oleh Sanjaya sampai kemari."

Lalu raja melepaskan kembali antilop itu kehutan.

Penutup

Nah teman bagaimana ceritanya tadi? Menarik bukan?
Dapat saya simpulkan bahwa di cerita kali ini yaitu kita tidaklah boleh terlalu mengikuti napsu untuk selalu menikmati kehidupan tanpa memikirkan resiko yang akan kita dapat kelaknya.

Semoga cerita ini dapat memberikan pelajaran yang berharga bagi teman sekalian. dan bila ada salah kata atau ucapan saya minta maaf sebesar besarnya. Terima Kasih Salam Metta :)



12 Oktober 2015

Cerita Jataka Buddhis/Buddha ( Cinta Buta)

Cerita Jataka buddhis/Buddha

Hai teman teman sedharma sekalian dimanapun kalian berada. Pada kesempatan kali ini saya ingin membagikan sebuah cerita bertemakan Cinta dari seekor rusa yang dimanfaatkan.

Memang benar cinta itu bisa membuat diri seseorang bahkan mungkin teman sendiri juga pernah merasakan kebutaan terhadap cinta tersebut.

ya tanpa panjang lebar ayo kita langsung saja Masuk ke ceritanya.

Cinta Buta

(Kandina Jataka)

Dikisahkan pada masa pemerintahan seorang raja dinasti Magadha yang beribu kota Rajagaha, ketika itu musim panen gandum dan rusa-rusa menjauh ke hutan untuk menghindari mara bahaya. Seekor rusa gunung, penghuni asli hutan itu, jatuh cinta kepada seekor rusa betina yang mengungsi dari pinggiran desa. Terdorong oleh cintannya, ia mengikuti betina tadi ketika rusa-rusa pengungsi meninggalkan hutang pulang ke tempatnya semula.

Ketika penduduk Magadha mencium tibanya waktu rusa-rusa turun dari gunung, mereka mempersiapkan diri untuk menyergap di perjalanan. Seorang pemburu mencegat di jalan yang dilalui pasangan rusa tersebut.

Rusa betina mencium bau manusia. Ia menduga ada pemburu yang akan menyerang. Maka dibiarkannya si jantan berjalan di depan. Ia sendiri mengikuti dengan jarak yang agak jauh. Dengan sebatang panah pemburu membuat rusa jantan itu jatuh tersungkur dan rusa betina lari secepat angin meninggalkannya. Si pemburu keluar dari tempat persembunyiannya, mengulitikorbannya dan menyalakan api memanggang daging segar itu.

Pada waktu itu Bodhisatva(Calon Buddha) adalah seorang peri yang tinggal di hutan belukar. Ia mengamati segala yang terjadi itu.
"Bukan salah ayah atau ibu, tetapi napsunya sendiri yang membinasakan rusa bodoh itu. Permulaan dari napsu memang menyenangkan, tetapi ia akan berakhir dengan kesedihan dan penderitaan. Hilangnya apa yang dimiliki menyakitkan dan begitulah penderitaan dari mahluk yang tercipta. Menyebabkan orang lain binasa adalah keji di dunia ini. Tidak baik pula negeri yang secara tidak adil dibawah pengaruh dan peraturan wanita. Dan hinalah laki-laki yang menyerah kepada kekuasaan buruk wanita."

Peri-peri lain di hutan itu menyambut, mempersembahkan wangi-wangian dan bunga, menghormat kepada Bodhisatva. Bodhisatva merangkai pernyataaannya dalam sebuah sajak, mengucapkannnya dengan suara yang lembut dan membuat gema di hutan:

"Terkutuk pana asmara yang menjadikan
manusia menderita.
Tercela negeri yang dikuasai wanita tidak
semena-mena
Dan terhina si bodoh yang dimabuk pengaruh
wanita."

Demikianlah dengan sajak ini dirangkumnya tiga  hal yang dipandang rendah. Dan hutan menggemakannya.

Penutup

Bagaimana menurut teman sekalian mengenai cerita tersebut? Banyak yang dapat dipetik dari cerita ini, salah satunya kita janganlah terlalu membawa napsu dalam kehidupan kita.

Ya sekian dari postingan yang saya bawakan pada kesempatan ini, terus lihat blog saya ya untuk mendapatkan cerita bertemakan agama Buddha lainnya. Maaf bila ada salah kata ataupun ucapan dan Terimakasih telah membaca. Salam Metta :)

Baca juga :

08 Oktober 2015

Kisah Jataka Buddhis/Buddha (Perlindungan Rusa Banyan)

Nigrodhamiga Jataka

Pada masa pemerintahan Brahmadatta di Benares, Bodhisatva (calon buddha) lahir sebagai seekor rusa. Ia memimpin lima ratus ekor rusa dan tinggal di suatu hutan. Ian pun dikenal dengan nama Raja Rusa Banyan. Tak jauh dari tempat itu ada pula pemimpin rusa lain dengan nama Rusa Cabang.

Raja Benares amat gemar berburu dan selalu makan daging, setiap hari raja selalu mengajak rakyatnya untuk berburu dihutan. Karena rakya merasa hal tersebut mengganggu kegiatan mereka sehari-hari, maka rakya membuat sebuah kebun binatang di dekat istana. Mereka menanami rumput dan menyiapkan kubangan air di dalam kebun binatang itu. Selanjutnya rakyat pun pergi kehutan dan menakuti para rusa dengan senjata serta anak panah. Kelompok Rusa Banyan dan Rusa Cabang pun ikut terperangkap di dalam kebun binatang itu.

Setelah kebun binatang kerajaan terisi dengan banyaknya rusa, para rakyat pun menghadap raja dan berkata " Baginda, kami telah menyiapkan kebun binatang sehingga kami tidak perlu lagi menemani baginda untuk berburu dihutan." Raja pun melihat kebun binatang itu dan melihat dua rusa yang gagah serta berbulu emas ( Rusa Banyan dan Rusa Cabang) dan ingin memelihara kedua rusa tersebut.

Hari demi hari pun dilewati dengan banyaknya kawanan rusa yang di bunuh tiap harinya, ditambah lagi yang memanah para rusa adalah seorang juru masak (koki) yang tidak punya keahlian memanah. Banyak rusa yang terkena panah dan terluka. Akhirnya rusa Banyan pun berunding dengan rusa Cabang. "Hai Cabang, bagaimana untuk menghindari banyaknya kelompok kita yang terluka, kita mengundi setiap harinya 1 dari kelompok kita untuk menyerahkan diri ke dapur istana?" bilang rusa Banyan. Rusa Cabang pun berkata "Baiklah, aku setuju untuk menghindari banyaknya kelompok kita yang tersakiti."

Akhirnya tiap harinya mereka pun menyerahkan satu per satu dari kelompok mereka ke dalam dapur istana dan berserah diri untuk langsung dipotong. Sampai suatu ketika undian pun jatuh pada seekor rusa betina yang hamil. Rusa itu anggota kelompok rusa Cabang. Ia menemui pemimpinnya dan berkata, "Tuanku, hamba sedang mengandung. Apabila hamba sempat melahirkan si kecil, maka akan terdapat dua giliran bagi kami. Ijinkan hamba dibebaskan dari giliran kali ini."

Rusa Cabang pun tidak menyetujui permohonan rusa betina itu. Lalu rusa betina pun memohon kepada Rusa Banyan. Dengan penuh rasa cinta kasih akhirnya rusa Banyan mengabulkan permintaan rusa betina tersebut. Dengan gagahnya rusa Banyan pergi ke dapur istana dan berbaring untuk siap dipotong.

Sang koki pun bingung kenapa Raja dari segala Raja rusa menyerahkan dirinya sendiri untuk dipotong, lalu koki pun melaporkan hal ini pada sang Raja. Raja pun bingung dan berkata, " Wahai paduka Rusa emas yang menjadi raja semua rusa, kenapa engkau menyerahkan dirimu untuk dibunuh padahal aku menjanjikan kehidupan bagimu." Rusa Banyan pun menjawab, " Aku disini untuk menggantikan rusa betina yang sedang mengandung." Raja pun sangat tersentuh hatinya dan kemudian menjanjikan keselamatan Rusa Banyan serta para kawanan rusa lainnya.

Akhirnya semua rusa pun dibebaskan dari kebun istana kerajaan dan hidup dengan damai. Sang raja pun berjanji untuk tidak menyakiti hewan lagi serta atas bujukan dari rusa Banyan, sang raja ikut menjalankan lima sila dan akhirnya terlahir sesuai dengan karma yang telah dia buat sepanjang hidupnya.


07 Oktober 2015

Kisah Jataka Buddhis/Buddha (Antara Dua Pemimpin Remaja)

Antara Dua Pemimpin Remaja – 

Dahulu kalah pada masa dinasti Magadha memerintah ibukota Rajagaha, Bodhisatva (calon buddha) hidup sebagai seorang rusa jantan. Ia memimpin seribu ekor rusa di dalam hutan. Dari perkawinannya ia memperoleh dua ekor anak laki-laki ( Si Mujur dan si Hitam). Menginjak masa tua Ia pun membagi dua kepemimpinan untuk di pimpin oleh dua anaknya tersebut.

Musim panen pun tiba di Magadha, tanaman gandum pun telah bertumbuhan, tibalah bahaya bagi para rusa. Banyak manusia yang memasang perangkap ataupun berburu untuk menjaga tanaman mereka.

Bodhisatva yang arif pun meminta anaknya berkumpul dan berkata “Anak-anakku, kini tibalah saatnya gandum bernas di ladang-ladang dan biasanya banyak rusa yang naas terjebak pada musim seperti ini. Kami sudah tua, tidak bisa kemana-mana, tetapi kalian disertai semua pengikut pergilah ketengah hutan pegunungan dan kembali kesini setelah panen berakhir.

Akhirnya Si mujur dan si Hitam pun pergi dengan membawa pengikut mereka masing-masing. Si Hitam yang bodoh tidak mempertimbangkan kapan waktu berangkan dan waktu beristirahat yang aman, membiarkan anak buahnya berjalan terlalu cepat ataupun lambat, baik pada waktu fajar menyingsing maupun waktu senja hari. Lalu para petani menyergap dari persembunyian ataupun secara berhadapan, membunuh anggota kawanan rusa itu. Tinggal sedikit dari kawanan Si Hitam yang selamat sampai ke tengah hutan pegunungan.

Sebaliknya si Mujur bijaksana, cerdik dan panjang akal. Ia tidak pernah mndekati pinggiran desa. Ia mengatur rombongan dengan tertib dan melaksanakan perjalanan hanya pada malam hari. Sehingga tidak ada satupun anggotanya yang tertangkap ataupun dibunuh oleh manusia. Sebab si Mujur sangat mencintai para pengikutnya.

Empat bulan lamanya mereka di tengah hutan, musim panen pun telah usai. Rombongan rusa pun kembali ketempat mereka semula. Dalam perjalanan si Mujur tetap menyayangi dan selalu berhati-hati untuk menghindari para pemburu yang akan membunuh pengikutnya. Berbeda dengan si Mujur, si Hitam tidak menghiraukan keselamatan pengikutnya sampai tiba di tempat mereka tinggalah si Hitam sendiri yang selamat.

Mereka pun menghadap orang tuanya. Bodhisatva melihat kedua anaknya kembali dan bersama kawanan rusa serempak berkata : “Mahluk yang tulus penyayang menghargai pahala. Si Mujur berjasa memimpin kembali rombongan sanaknya. Sedangkan si Hitam pulang kehilangan semua kawanannnya.”

Demikianlah Bodhisatva menyambut anaknya. Kelak kemudian setelah melalui masa tua dengan baik, ia mati dan lahir di alam yang sesuai dengan karmanya.

sumber : (Himpunan Ceritera Rusa, 1983)

baca juga : Kisah Rusa Banyan yang mengorbankan hidupnya
 

Agama Buddha itu Indah Template by Ipietoon Cute Blog Design